Banten Ayo Membaca



BANTEN, AYO MEMBACA !
Oleh: Nedi Suryadi

Dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” karya Dedi Mizwar, dikisahkan seorang pencopet ditangkap polisi karena salah melarikan diri, dia tidak tau kalau jalan dia melarikan diri itu justru menuju kantor polisi, sebab dia tidak bisa membaca tulisan yang terpampang diatas jalan; “Kantor Polisi”. Peristiwa ini membuat Bang Jarot sebagai bos para pencopet marah besar, sebab anak buahnya tidak mau belajar membaca dan menulis kepada Bang Muluk yang diperankan Reza Rahadian. Dalam adegan ini saya menyimpulkan bahwa sang sutradara melalui filmnya ingin menyampaikan betapa pentingnya memiliki kemampuan membaca kepada para penontonnya. Penting bukan karena kemampuan membaca bisa menyelamatkan pencopet atau dengan kemampuan membaca seseorang bisa menjadi pencopet seperti yang digambarkan film itu, tapi agar di Negeri ini tidak ada pencopet. Dengan membaca tentu seseorang akan memiliki ilmu pengetahuan, dengan ilmu pengetahuan maka seseorang akan dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Akal dan pikiran manusia berbeda dengan binatang, sebab manusia punya ilmu pengetahuan. Maka tidak salah ketika Goenawan Mohamad mengatakan; “kemampuan membaca itu sebuah rahmat dan kegemaran membaca adalah kebahagiaan”.

Di negara maju, membaca adalah kebiasaan yang sudah menjadi budaya. Di Jerman misalkan, kota Leipzig dikenal dengan Kotanya para pembaca, bagi mereka membaca buku adalah aktivitas yang sangat penting dibandingkan dengan telfon pintar yang biasa kita pegang disetiap saat. Selain Leipzig juga kita kenal Frankfurt dengan kota pameran buku terbesar didunia. Beruntung Indonesia pada Oktober 2015 lalumenjadi tamu kehormatan di ajang Frunkfurt Book Festifal dan ComiConnexion di Leipzig. Jika dibandingkan dengan negara negara di Eropa tentu Indonesia tidaklah sebanding, dari beberapa sumber hasil survai UNESCO menyatakan bahwa indeks tingkat membaca di negara negara maju mencapai 0,45 persen sampai 0,62 persen, sedangkan di Indonesia baru mencapai angka 0,01 persen. Artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya satu orang yang mau membaca buku secara serius. Kendati demikian, Indonesia tidak boleh pesimis dengan keadaan ini, justru perbandingan ini mesti menjadi motivasi bagi Indonesia untuk terus meningkatkan budaya literasi. 

Tradisi membaca di Jerman tidak lahir secara instan, Direktur Frunkfurt Book Festifal Juergen Boos ketika di wawancarai oleh salah satu televisi swasta Indonesia mengatakan betapa bangsanya harus melalui proses berabad abad hingga akhirnya buku menjadi kebutuhan.Menurut Juergen Boos, keberadaan percetakan juga sangat penting untuk memperbanyak jumlah penerbitan buku, dengan demikian buku akan mudah dijangkau oleh masyarakatnya. Sampai saat ini angka produksi buku di Indonesia baru menciapai 7.000 – 8.000 buku per tahunnya. Indonesia harus kerja ekstra mengejar ketertinggalannya dari Malaysia yang per tahunnya memproduksi 10 ribu buku, Jepang 44 ribu buku per tahun, Inggris 61 ribu per tahun dan bahkan Amerika serikat mencapai 100 ribu buku per tahun. Produksi buku selain bergantung pada kemampuan percetakan, perlu juga didukung oleh sejauh mana kaum intelektual Indonesia dalam membudidayakan penulisan buku.

Merujuk pada kondisi ini, maka penting kiranya disetiap daerah di Indonesia mengkampanyeukan minat baca masyarakat. Di Indonesia sendiri menurut kutipan suaramerdeka.com, dari semua daerah di Indonesia yang indeks minat bacanya paling tinggi hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang angkanya mencapai 0,049 persen, artinya dari 1000 orang ada 49 orang yang minat bacanya tinggi. Sehingga wajar DIY di juluki kota pendidikan, seharusnya ini menjadi contoh untuk daerah lain di Indonesia untuk bersama sama meningkatkan indeks baca masyarakat Indonesia.

Gerakan Banten Membaca
Dari segi perkembangan ilmu pengetahuan, banten memiliki sejarah yang berharga, Banten selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi tempat berguru bagi para pendatang dari berbagai negara di dunia. Tipologi masyarakat Banten yang memiliki karakteristik yang agamis, telah mampu menarik perhatian dunia. Lahirnya Nawawi Al-Bantani pada abad XVIII dari Tanara yang sangat mendunia dan dikenal luas di berbagai daerah di Timur Tengah menjadi bagian terpenting dari sejarah kecemerlangan pendidikan di Banten. Pada era moderen Banten punya Hussain Djaya Diningrat, orang Indonesia asal Banten yang pertama kali mendapat gelar Doktor di Belanda. Artinya, dari segi ilmu agama dan pengetahuan umum, Banten memiliki akar sejarah yang kuat untuk dijadikan motivasi dalam meningkatkan kualitas pendidikannya.

Bukan tidak ada, kesadaran masyarakat Banten akan membaca sebetulnya sudah bermunculan dari beberapa individu dan berbagai komunitas, hanya saja kesadaranitubelum menjadi kesadaran bersama. Memang tidak mudah, membangun kesadaran bersama harus dengan keseriusan, militansi dan kerja kolektif. Di Kabupaten lebak kita kenal TBM Sumlor milik Ahmad Lugas, ketua KPJ Rangkasbitung ini sudah sejak lama mengampanyekan pentingnya membaca.Sealin Kang Ugas (nama panggilan) di daerah Ciseel Kabupaten lebak juga ada Taman Baca Multatuli. Di Kota Serang tentu semua mengenal Rumah Dunia, di Kabupaten Serang ada Ismawati dari PKBM satu bangsa yang belum lama ini mendapat penghargaan. Kemudian kalau anda melewati jembatan Balaraja di tanggerang, akan bertemu juga dengan kawan kawan komunitas jalanan yang mendirikan taman baca di kolong jembatan. Dan pada tahun 2016 ini ada pula yang keliling kampung membawa buku, mengajak anak desa menulis dan membaca dengan sebutan Komunitas Kampung Baca, sebuah komunitas literasi mandiri yang di kelola oleh Nedi Suryadi.

Kesadaran yang muncul ini tentu tidak cukup untuk meningkatkan indeks baca seperti di Yogyakarta, karena individu atau komunitas tertentu terbatas kemampuan dan kebijakannya. Dalam situasi seperti ini kehadiran Negara menjadi faktor utama, sebab tugas negara yang didalamnya ada pemerintah adalah bertanggung jawab atas hajat hidup orang banyak. Pendidikan merupakan salah satu hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh Negara.

Pada Hari Aksara Internasional tingkat Provinsi Banten akhir 2015 lalu, Gubernur Banten secara resmi mendeklarasikan “Gerakan Banten Membaca”. Sebuah program unggulan yang merespon program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Untuk mendukung program ini, Gubernur Banten merencanakan pada tahun 2016 ini Pemprov Banten akan mengupayakan mendirikan 1 taman bacaan masyarakat 1 Desa. Informasi ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat Banten, bahwa upaya peningkatan minat baca juga didukung oleh program pemerintah. Sebagai masyarakat tentu kita berharap agar program ini benar benar terealisasi dengan baik bukan hanya sekedar wacana dan menjadi project manipulatif semata.

Kondisi Masyarakat
Usia 15 tahun sebagai provinsi dengan dinamika politik yang carut marut tentu akan sangat menghambat terhadap peningkatan pembangunan di Banten, baik dari segi ekonomi ataupun pendidikan. Capaian Banten menjadi provinsi yang maju masih membutuhkan proses panjang dengan berbagai perbaikan. Bukan saja soal infrastruktur tetapi yang lebih parah adalah soal pendidikan. Banten ini belum sepenuhnya menjadi kota, jika di analogikan buah banten ini baru bagus kulitnya saja, sebagaibukti di pusat Ibu Kota Banten saja desa tertinggal itu masih terhitung banyak. Itu artinya permerataan ekonomi dan pendidikan di Banten memang belum merata. 

Perjalanan Kampung Baca selama ini paling tidak memberi sedikit gambaran tentang kondisi objektif masyarakat dan masalah yang dihadapi. Minat baca anak anak sendiri sebetulnya sudah cukup lumayan tinggi, mereka sangat tertarik dengan buku buku yang kami bawa. Seperti yang terjadi di kampung Manggerong Sawah Luhur Kota Serang, anak anak disana bahkan ingin membawa pulang buku kami ke rumahnya masing masing. Kemudian beda halnya dengan kondisi di kampung Cilaban bulan di daerah Pandeglang, seorang guru merasa kesulitan mencari buku. “Setiap tahun anak anak ini di ikut sertakan dalam lomba bercerita, tapi saya mencari buku buat contoh anak anak sampai ke serang juga tidak ketemu”, ujar salah seorang Guru.

Dari dua contoh kasus ini bisa saya simpulkan bahwa kekurangan kita adalah; pertama, soal fasilitas atau media belajar. Kedua, akses mendapatkan fasilitas belajar yang sulit didapat. Ketiga, tempat belajar yang kurangnyaman. Ke empat, metode pengajaran yang mesti terus digali agar pendidikan bisa diterima oleh peserta didiknya.

Sistem kurikulum yang telah diatur oleh pemerintah memang sudah bagus, tetapi belum tentu juga relevan dengan semua daerah. Hal ini disebabkan oleh fasilitas pendidikan yang belum merata, pertama. Yang kedua, setiap daerah memiliki culture yang berbeda beda sehingga polapendidikan juga harus menyesuaikan dengan culture yang ada didaerah tersebut. Selain daripada itu, meningkatkan minat baca tentu tidak saja cukup dengan mengandal kansekolah. Peran pemerintah memberikan ruang belajar yang formal atau non formal, peran masyarakat dan yang terpenting adalah peran orang tua berperan aktif dalam meningkatkan minat baca. Sehingga peningkatan minat baca ini menjadi tugas bersama, bukan saja menjadi tugas kelompok tertentu.

Harapan
Jerman selain maju dalam sepak bola tetapi maju juga dalam pendidikan karena mereka membuatdua bidang ini menjadi satu kesatuan yang saling ketergantungan, sepak bola adalah budaya sedangkan pendidikan adalah kebutuhan. Anak-anak Jerman diperbolehkan main bola kalau mereka sudah membaca, kata Juergen Boos. Ini hanya soal metode, jika minat baca di Banten ingin maju maka salah satu kunci utamanya adalah metode. Pemprov Banten selain menyediakan 1 TBM di 1 Desa, harus pula member metode yang cocok dengan melibatkan tenaga yang tepat. Selain mahir di bidangnya juga harus memiliki militansi yang kuat, ini yang paling penting. Yang menganggap tugas ini adalah tugas pemerintahan tetapi juga menganggap gerakan membaca adalah tugas kemanusiaan.

Jika masyarakat desa dianggap lemah dalam budaya literasi memang benar, sebab keseharian mereka disibukan dengan pekerjaan rumah, berkebun, bertani dan beternak. Pemerintah memberikan 1 tamanbaca di 1 desa itu sudah menjadi solusi yang tepat. Tetapi jangan menganggap masyarakat kota tingkat budaya literasinya tinggi, saya rasa autisme gadget di wilayah perkotaan juga mesti dilawan dengan buku. Menurut hemat saya, selain memfasilitasi masyarakat desa dengan taman baca pemerintah juga harus membuat kantung-kantung buku di pusatkota. Dipusat perbelanjaan, di warung kaki lima, di rumah makan, di café café, diwarung-warung angkringan dan tempat tongkrongan lainnya, kenapa tidak disediakan kantung kantung buku,  dengan pengelolaan tentu saja mesti dikerjasamakan dengan pihak pemilik tempat atau usaha. Dikota serang misalkan, hamper disepanjang jalan adalah tempat tongkrongan dengan bermacam gaya dan bentuk. Andai saja disetiap tempat itu terdapat buku dan orang orang bukan sekedar belanja tetapi juga sambil membaca, tentu kita tidak mesti jauh jauh dating ke Jogja untuk menikmati literasi di emperan ini, Serang juga sudah rasa Jogja. Kita semua menggunakan Gadget karena memang disemua tempat kita bertemu dengan gadget, barangkali kalau disetiap tempat kita bertemu buku barangkali kita juga akan membaca buku.
Banten ayo membaca !

Penulis;
NediSuryadi
(Mahasiswa IAIN “SMH” Banten dan Pengelola Kampung Baca)

Next
This is the current newest page
Previous
Next Post »

1 komentar:

Click here for komentar
Elex Sw.
admin
8 Februari 2016 pukul 07.16 ×

Singgah sebentar....
CAYOOOOO

Congrats bro Elex Sw. you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Thanks for your comment
close
WakwaW