Kampung Baca Edisi Ketiga

KAMPUNG BACA EDISI KE TIGA; Di Desa Kami Punya Cerita
Setelah beberapa waktu lalu kami mengunjungi Kampung Karodangan di Desa Sepang, kali ini kami bergeser ke Kampung Manggerong di daerah Sawah Luhur, kedua daerah itu masih berada di wilayah Kota Serang. 24 Januari 2016, saat minggu masih pagi kami sudah bergegas menuju lokasi kampung baca. Jarak tempuh dari jantung kota serang tidaklah terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 20 menit. Cuaca minggu pagi yang begitu cerah menyambut titik titik embun di pucuk pucuk padi yang menghijau, membuat pacuan sepedah motor kami tidak terlalu buru buru, rasanya enggan menyia nyiakan kesesjukan pagi yang tidak sering kami jumpai ini. Usai melewati lautan daun padi nun hijau, sepanjang jalan terbentang tambak tambak udang atau kami menyebutnya empang, disampingnya berdiri rumah makan pecak bandeng, tidak begitu mewah tetapi ketika tiba jam makan siang jangan heran kalau pengunjungnya mobil mobil mewah, sebab pecak bandeng merupakan salah satu makanan unggulan di Kota Serang. Tentu kami tidak berencana makan siang disana, karena tujuan kami bukan mau makan siang tetapi mau mengajak anak anak bermain dan membaca sampai siang tanpa makan.
Tibalah kami di Kampung Manggerong, persis rumah makan pecak bandeng, lokasi kampung baca edisi ketiga ini tepat berda di samping tambak ikan, sudah pasti sejuk dan teduh sebab disana berdiri pohon yang amatlah rindang. Baru saja sepeda motor kami parkir (berhenti dan dimatikan mesinnya), belasan anak langsung menyerbu kami. Tanpa sempat mengucap salam dan mempersilahkan yang lain lain, mata anak anak langsung tertuju pada kardus yang saya bawa, seolah tatapnya memberi isyarat agar saya segera membukanya. Tanpa basa basi saya langsung buka tali plastik kardus buku itu, dan anak anak langsung berebut tanpa memperhatikan seruan kami yang meminta antri, “mereka sudah menunggu dari jam tujuh pagi itu”, ujar Pak Ustad yang punya tempat itu. Wajar saja mereka langsung berebut buku seperti ikan ditambak berebut ketika Pak Ustad memberi pakan.
Kali ini saya Cuma memperhatikan, sebab pada edisi ke tiga ini Alhamdulillah ada beberapa kawan yang ikut jadi relawan kampung baca. Cahya Raudhatunnisa, yang membantu kampung baca membimbing anak anak dari awal sampai selesai. Cahya di ajak oleh rekan kami Ulfi Syahrani (Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Serang). Selain Cahya, Ulfi mengajak Muhajir dan Samsul untuk membantu anak anak membaca. Sementara saya ajak Samin “Suhendra” (mantan Ketua Umum Gesbica) untuk ikut, karena memang pagi itu ia sedang tidak ada aktifitas yang dianggap penting. Ulfi Syahrani pula lah yang mengajak Komunitas Kampung Baca singgah di Kampung Manggerong Sawah Luhur itu.
Saung itu terbuat dari papan kayu, bentuknya kurang lebih mirip dengan bangunan rumah warga Baduy, didalamnya saya lihat ada papan tulis hitam bertuliskan huruf arab, dipojok sebelah kanan terdapat tumpukan Al-quran yang sebagian jilidnya sudah robek. Lantai (amben) papan saung itu sudah bolong bolong sebagian, sehingga anak anak harus berhati hati kalau berjalan didalam sebab bisa terperosok. Tihang penyangga depan saung itu Nampak agak miring dan sebagian sudah keropos, tanda bangunan ini sudah begitu lama dibuat. Ukuran saung itu kurang lebih sekitar 12 x 5 m saja, cukup untuk anak anak yang hanya berjumlah kurang dari 20 orang. Lama saya duduk diatas tumpukan genteng memperhatikan Cahya mengajarkan anak anak membaca dan bermain, sesekali saya tersenyum. “Andai orang seperti Cahya menjadi guru tetap di kampung baca, saya akan sangat senang”, gumam hati saya. Karena memang selama ini Kampung Baca belum punya guru tetap yang faham soal pendidikan dan fisikologi anak, sementara saya sendiri mendirikan kampung baca hanya modal keinginan saja, tanpa ditopang oleh kemampuan yang mapan.
 
Hampir tiga jam saya memperhatikan dan mencatat beberapa kejadian yang ada disana, saya konfirmasi ternyata saung itu adalah gedung Madrasah Diniah Awaliah dan digedung ini pula lah anak anak setiap hari belajar. Saya tidak bisa banyak berkomentar, yang pasti dari saung ini kami belajar tentang semangat dan nilai nilai kehidupan. Kita orang kota yang terkadang merasa pintar, pantaslah kita belajar pada orang orang desa yang terkadang dianggap biasa biasa saja.
Menarik nafas panjang, ketika anak anak tidak mau kalau kami pulang. Tatapan mereka penuh harap, sambil tetap memeluk beberapa buku didada mereka, mereka ingin buku buku itu mereka bawa pulang. Dengan berat hati saya bilang; “buku mamang belum banyak dan masih ada anak anak yang lain seperti kalian yang juga mau membaca, kalau buku ini kalian bawa pulang kasihan anak yang lain enggak bisa baca, nanti bulan depan kalau buku mamang sudah banyak nanti buku ini mamang kasih ke kalian”. Saya berharap ini bukan janji, sebab saya sendiri belum tahu pasti bulan depan buku buku saya akan bertambah atau justru malah berkurang.
Terimakasih teman teman, meskipun Negeri ini hancur oleh orang orang yang berpendidikan tetapi kita harus terus belajar dan belajar. Di kampung baca inilah kami belajar mengenali bangsa kami sendiri

“KMUNITAS KAMPUNG BACA; di desa kami punya cerita”
 Penulis; Nedi Suryadi
Berikut dokumentasi kegiatan




















Previous
Next Post »

1 komentar:

Click here for komentar
Elex Sw.
admin
24 Januari 2016 pukul 14.02 ×

mantap,semangat bung!,BRAVOOOO!

Congrats bro Elex Sw. you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Thanks for your comment
close
WakwaW